
Konflik Agraria diprediksi akan terus terjadi di Indonesia, ketika Pemerintah Indonesia belum mampu mengelola dan menegakan aturan investasi berbasis lahan. Masyarakat adat di berbagai tempat di Indonesia juga akan selalu menjadi korban ketika berupaya mempertahankan wilayahnya dari pencaplokan dan perampasan lahan secara sepihak yang dilakukan pihak investor.
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat, dari 2012 sampai 2022, terdapat 3537 konflik agraria.Dengan luas wilayah konflik agraria 9,1 juta hektar.Termasuk 1 juta lebih keluarga terdampak konflik agraria.Ada banyak Hak Guna Usaha, Hutan Tanaman Industri dan izin tambang yang mengganggu masyarakat adat di kampung kampung. Tidak hanya mengganggu, tapi juga menggusur.Dalam kurun waktu 2012 sampai 2022, ada 113 orang yang harus kehilangan nyawa karena mempertahankan kampungnya dan hak atas tanahnya.Kemudian ada 149 yang ditembak karena mempertahankan hak atas tanah.
Karena itu, untuk mengantisipasi terjadinya konflik agraria di masa depan, Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA) yang beranggotakan kurang lebih 66 organisasi masyarakat sipil se-Indonesia, merancang satu sistem yang dinamakan Sistem Respon Cepat Darurat Agraria.
Sistem ini dimaksudkan untuk membantu masyarakat adat, khususnya pemilik hak ulayat atas hutan dan lahan yang berkonflik dengan pihak investor, baik investor tambang maupun perkebunan skala luas.
Selama ini ketika ada persoalan yang dihadapi oleh suatu kelompok masyarakat adat dengan pihak investor, respon organisasi masyarakat sipil yang terdekat dengan lokasi konflik sangat lambat untuk melakukan pendampingan, karena alasan keterbatasan anggaran. Karena itu, dengan adanya sistem respon cepat ini, diharapkan masyarakat adat yang berkonflik dapat secepatnya mendapat bantuan hukum atau pendampingan.
“ Jadi begitu ada laporan konflik yang masuk, dalam waktu 1×24 jam, komite sudah bisa menugaskan orang atau lembaga yang turun ke lapangan melakukan pendampingan hukum kepada masyarakat adat yang berkonflik,” ujar Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Dewi Kartika, pada Sarasehan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dengan topik Membangun Sistem Pendukung Pendanaan untuk Penguatan Organisasi Rakyat dan Masyarakat Adat, di Kampung Yokiwa Distrik Sentani Timur, akhir Oktober lalu.
Dewi menuturkan, dulu pihaknya bergerak dengan spirit solidaritas. Lembaga-lembaga saling bergotong royong, mana yang punya uang dan mampu mensuport masyarakat adat yang berkonflik, langsung dibiayai untuk turun ke lapangan.
“Dulu sifatnya tidak sistematis, tidak terstruktur, tidak ada sistemnya yang dibangun. Yang penting siapa punya dana, siapa punya lawyer yang baik, pengacara yang hebat, yang pro terhadap perjuangan kita, kita kirimkan ke lapangan,” jelasnya.
Tetapi makin lama terlalu banyak kejadian-kejadian daruratnya. Terlalu banyak kejadian di berbagai tempat, sehingga diperlukan satu sistem yang terstruktur dan sistematis
Sistem inipun diharapkan tidak birokratis, harus cepat dan fleksibel tapi harus dapat dipertanggung jawabkan. Karena itu, Dewi sangat berharap masukan dari komunitas masyarakat adat, agar sistem ini dapat berjalan dengan baik dan berdampak pada perjuangan masyarakat adat mempertahankan hutan dan tanah leluhurnya.
Dewi berharap anggota Aliansi Masyarakat Adat Nusantara di wilayah Papua dapat memahami sistem ini, baik kriterianya maupun pertanggung jawabannya, sehingga dapat membantu persoalan yang dihadapi masyarakat adat di Papua yang berjuang mempertahankan tanahnya.(abe)