Twitter Instagram

Tanah Papua memiliki kurang lebih 5.000 kultivar ubi jalar

Ubi jalar (Ipomoea batatas (L.) Lam.) merupakan tanaman merambat yang dapat ditemukan di wilayah tropis. Ubi jalar termasuk kolompok famili Convolvulaceae yang keragaman genetiknya sangat tinggi dan menyebar di berbagai negara (Rahajeng, 2015).

Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki tingkat keragaman genetik ubi jalar yang tinggi (Minantyorini dan Setyowati, 2016) dan terdiri atas beberapa varietas unggul dan jenis-jenis lokal (Hidayatun et al., 2011). Hal ini dapat dilihat juga dengan variasi pada bentuk dan warna daging umbi.

Keragaman genotipe ubi jalar yang tinggi tersebar di beberapa daerah, serta dikomsumsi sebagai makanan pokok. Bagi masyarakat Papua, ubi jalar adalah makanan pokok sehari-hari terutama masyarakat yang tinggal di wilayah pegunungan (Saraswati, et al.,2013). Selain sebagai makanan sehari-hari, ubi jalar juga dimanfaatkan sebagai pakan ternak babi (Suparno et al., 2016).

Pemanfaatan ubi jalar yang tinggi pada sebagian masyarakat Indonesia menyebabkan ubi jalar merupakan tanaman pangan yang telah menjadi perhatian dalam pengembangannya. Ubi jalar merupakan bahan makanan pangan dengan kandungan nutrisi yang tinggi. Kandungan nutrisi ubi jalar sangat beragam antara lain, karbohidrat, serat, gula alami, protein, folat, vitamin A, B dan C, kalium, natrium, besi, serta kalsium (Rahayuningsih, 2003).

Berbagai genotipe ubi jalar juga mempunyai kandungan antosianin pada daging umbi yang berwarna ungu dan ß-karoten pada daging umbi yang berwarna kuning hingga orange, flavonoid dan asam fenolik (Islam, 2015; Islam 2016). Hal ini menyebabkan ubi jalar banyak digunakan sebagai makanan pokok, pakan ternak dan bahan baku industri dan bioetanol. Produksi ubi jalar di Papua Barat dari tahun ke tahun terus mengalami perubahan.

Menurut (BPS, 2014, 2018) produksi ubi jalar per hektar pada tahun 2014 sebesar 11,83 ribu ton umbi basah meningkat menjadi 13,10 ribu ton pada tahun 2015. Kenaikan produksi ini disebabkan oleh bertambahnya luas panen menjadi 77 hektar (atau meningkat 7,13%) dengan produktivitas sebesar 3,73 ton/ha atau meningkat 3,41%.

Pada tahun 2016 produksi ubi jalar meningkat sebesar 13,24 ribu ton umbi basah, dengan pertambahan luas panen 1.170 hektar, dan produktivitas sebesar 113,14 ku/ha. Pada tahun 2017 produksi ubi jalar kembali meningkat sebesar 17,88 ton umbi basah, dengan pertambahan luas panen 1.558 hektar, dan produktivitas sebesar 114,81 ku/ ha, namun pada tahun 2018 produksi ubi jalar mengalami penurunan menjadi 12,38 ton umbi basah (BPS, 2014-2018). Penurunan produksi ini disebabkan oleh berkurangnya luas panen menjadi 1.046 hektar, sementara konsumsi masyarakat Papua terhadap ubi jalar cukup tinggi.

Salah satu kendala utama yang dihadapi petani adalah kurang optimalnya teknik budidaya, penggunaan genotipe lokal yang memiliki potensi produksi rendah serta kurangnya kemampuan adaptasi dengan baik di setiap lingkungan tumbuh. Sebaliknya erosi genetik ubi jalar dapat terjadi apabila penggunaan varietas unggul secara luas, cekaman biotik seperti kekeringan, genangan kebul, penyakit dan hama boleng, pergeseran fungsi lahan, kerusakan habitat akibat bencana alam, dan lain-lain (Wahyuni, 2012).

Papua dikenal memiliki keragaman jenis ubi jalar yang tinggi. Ubi jalar dapat dijumpai pada berbagai wilayah di Tanah Papua, baik pada dataran rendah maupun dataran tinggi, terutama pada wilayah Pegunungan Tengah (Rauf & Lestari, 2009). Yen (1974) menyatakan bahwa di Tanah Papua terdapat kurang lebih 5.000 kultivar ubi jalar dengan keragaman tertinggi terdapat terutama di wilayah Pegunungan Tengah. Ubi jalar dapat tumbuh dan beradaptasi pada kondisi lingkungan yang beragam, itu sebabnya bisa ditemukan dari dataran rendah sampai dataran tinggi (Somera et al., 2018). Ubi jalar memiliki banyak variasi yang membedakan satu genotipe dengan genotipe lainnya. Komoditas ini mempunyai keanekaragaman genetik dan fenotipik yang sangat bervariasi sesuai dengan varietasnya berdasarkan morfologi daun, batang maupun umbi. (Sumber Jurnal Igya Ser Hanjop, 12 Desember 2022)